Jumat, 16 Oktober 2009

G.Arjuno


Arjuno - Welirang

Puncak G. Arjuna dan G. Welirang terletak pada satu gunung yang sama. G. Arjuna dapat didaki dari berbagai arah; arah Utara (Tretes) melalui G. welirang, dari arah Timur (Lawang) dan dari arah Barat (Batu-Selecta).

Surabaya - Malang, turun di Pandaan - Tretes.

Dari Pos PHPA Tretes kita dapat langsung mendaki G. Welirang atau berbelok kekiri langsung ke arag G. Arjuna. Perjalanan dari pondok sampai ke puncak G. Welirang, akan melewati hutan Cemara yang jalannya berbatu. Setelah berjalan 3-4 jam kita akan sampai di puncak G. Welirang. Di bawah puncak G. Welirang ada sebuah kawah yang menyemburkan gas belerang. Perjalanan dari Tretes sampai ke puncak G. Welirang memakan waktu 7-8 jam.

Bila kita akan melanjutkan perjalanan menuju G. Arjuna maka setelah kita sampai di puncak G. Welirang kita berjalan turun sekitar 10 menit tepatnya kearah selatan. Hutan yang dilalui adalah hutan cemara dengan melewati satu jurang dan pinggiran G. Kembar I dan G. Kembar II setelah berjalan 6-7 jam kita akan sampai di puncak G. Arjuna. Tetapi sebelumnya kita akan melewati tempat yang dinamakan “Pasar Dieng”, ketinggiannya hampir sama dengan puncak G. Arjuna dan terdapat batu-batu yang sebagian tersusun rapi seperti pagar dan tanahnya rata agak luas. Dari sini untuk ke Puncak G. Arjuna hanya memakan waktu 10 menit. Untk mencapai G. Arjuno dari G. Welirang dibutukan waktu 5-6 jam. Puncak G. Arjuna disebut dengan “puncak Ogal-Agil” atau “Puncak Ringgil”.
Turun ke kota Lawang yaitu kearah timur kurang lebih 6 jam.

Jalur Lawang
Surabaya - Malang turun Lawang.
Dari Lawang - desa Wonorejo.
Disini kita melapor pada petugas PHPA dan juga meminta ijin pendakian, persediaan air kita persiapkan juga di desa terakhir ini.

Dari desa Wonosari terus berjalan dan melewati kebun the Wonosari serta terus naik selama 3-4 jam perjalanan kita akan sampai di “Oro-oro Ombo” yang merupakan tempat berkemah. Dari “oro-oro Ombo” menuju puncak dibutuhkan 6-7 jam perjalanan dengan melewati hutan lebat yang disebut hutan “Lali Jiwo”. Untuk menuju puncak terakhir ini, setelah kita melewati Hutan Lali Jiwo, kita akan melalui padang rumput yang jalannya menanjak (curam) sekali. Mendekati puncak, kita akan berjalan melewati batu-batu yang sangat banyak dan menyerupai taman yang sangat indah setelah itu kita akan mencapai puncak G. Arjuna.

Rute pendakian lainnya yaitu dari kota Batu lewat Selecta yang terletak di sebelah barat G. Welirang. Dari Kediri / Malang - Batu – Selecta - desa Kebonsari. Di desa ini kita harus menyiapkan air secukupnya untuk perjalanan ke puncak dan kembalinya.

Mendaki selama 5-6 jam akan mengantarkan kita pada punggungan gunung yang menghubungkan puncak G. Welirang dan G. Arhuno, tepatnya sebelah tenggara G. Kembar I. Kita masih harus menempuh perjalanan 1-2 jam lagi untuk menuju puncak G. Welirang ke arah kiri atau G. Arjuno ke arah kanan selama 4-5 jam .

Semeru


Semeru - Bromo

Taman Nasional Bromo-Tengger-Semeru termasuk dalam 4 wilayah Kabupaten, yaitu; Kab. Probolinggo, Kab. Pasuruan, dan Kab. Malang dan Kab. Lumajang. Kawasan ini banyak dikenal oleh wisatawan asing maupun domestik, terutama kawasan Bromo.

Untuk menuju G. Bromo dari arah Pasuruan. Dari Surabaya - Probolinggo turun di Pasuruan - Tosari-Wonokitri. Disini kita meneruskan perjalanan menuju G. Penanjakan, atau masuk ke lautan Pasir dan menuju puncak G. Bromo.

G. Pananjakan mrupakan titik pandang terbaik ke arah kawasan G. Bromo, dimana Kawah Bromo nampak sebagai suatu panorama yang amat eksotik, dengan kepulan asap dan warna-warni punggungan bukit bekas lelehan lava belerang disekitarnya dan hamparan padang pasir mengelilinginya. Disini pemandangan matahari terhimpun nampak lebih indah dengan puncak G. Semeru sebagai latanya.

Bila dari arah Probolinggo - Sukapura terus ke Ngadisari. Dari Ngadisari - Cemoro Lawang 3 Km.

Suhu kawasan Bromo antara 5-14 derajat selsius. Dari padang pasir Bromo kita dapat naik ke G. batok, G. Kursi, maupun Gunung Pananjakan. Di kawasan H. Bromo ini banyak dijumpai panorama yang sangat menkjubkan.

Malang - Tumpang, kemudian menuju desa Ranupane (2.200 m) dengan melewati desa Gubug Klakah (1.100 m) dan Ngadas (2.000 m) dengan truk atau Jeep.

Ranupane menuju Ranu Kumbolo 2.400 m dpl berjarak 13 Km memakan waktu 3-4 jam.
Dari Ranu Kumbolo menuju Kalimati (2.700 m) di tempuh 2-3 jam. Air dapat dicapai di Sumbermani, kearah barat menelusuri pinggiran hutan kalimati dengan menempuh perjalanan 1 jam.
Kalimati - Puncak ditempuh 3-4 jam.

Dari puncak turun kembali ke Kalimati membutuhkan waktu1-2 jam, dan 2-3 jam untuk sampai di Ranu Kumbolo. Dari Ranu Kumbolo menuju Ranu Pane dibutuhkan waktu 3 jam.

Turun dari Ranupane kearah Tumpang kita dapat juga menuju kawasan G. Bomo, melalui pertigaan Jemplang (2 Km. Sebelum desa Ngadas) ke arah kanan.

Kritis

Kritis adalah status konservasi yang diberikan terhadap spesies yang memiliki risiko besar akan menjadi punah di alam liar atau akan sepenuhnya punah dalam waktu dekat.

IUCN telah menjadi lembaga yang secara resmi dan objektif mengklasifikasikan status konservasi suatu spesies. Dalam daftar yang dimilki IUCN, setidaknya terdapat 3246 spesies (1665 fauna, 1575 flora, dan 6 spesies jamur, liken, dan alga) yang berstatus kritis.

Jika suatu spesies menyandang status kritis, berarti jumlahnya telah jauh berkurang di habitat alami mereka, sebanyak 80% dalam tiga generasi. IUCN tidak serta merta menyimpulkan suatu spesies benar-benar punah, mereka lebih dahulu memasukkannya ke dalam status kritis hingga data yang pasti mengenai keberadaan spesies tersebut ada. Kategori terbaru telah diusulkan oleh BirdLife International, yaitu "Kemungkinan Punah" untuk mengkategorikan status spesies tersebut.

Contoh spesies yang kritis dianranya:

Senin, 25 Mei 2009

Spesies terancam

Harimau Sumatra, status konservasi: kritis
Spesies terancam adalah populasi makhluk hidup (spesies atau subspesies terpisahkan evolusi) yang berada dalam risiko kepunahan karena jumlahnya sedikit, maupun terancam punah akibat perubahan kondisi alam atau hewan pemangsa.
Berbagai negara di dunia memiliki undang-undang perlindungan istimewa bagi habitat atau spesies terancam, yang berisi pelarangan perburuan, pembatasan pengembangan lahan, atau penetapan daerah cagar alam dan suaka margasatwa. Jumlah spesies yang terancam sebenarnya lebih banyak dari jumlah spesies yang didaftar dan mendapat perlindungan hukum. Di alam bebas terdapat lebih banyak lagi spesies yang lebih dulu punah sebelum sempat dicatat, atau berpotensi menjadi musnah tanpa pernah berhasil mendapatkan perhatian manusia.
Laju kepunahan spesies sepanjang 150 tahun belakangan ini sangat memprihatinkan. Spesies mengalami evolusi dan punah secara alami sejak ratusan juta tahun yang lalu, tapi laju kepunahan belakangan ini jauh lebih tinggi dari laju kepunahan rata-rata pada skala evolusi planet Bumi.[1]Laju kepunahan saat ini adalah 10 hingga 100 kali lipat laju kepunahan alami. Bila tingkat laju kepunahan berlanjut atau terus meningkat, jumlah spesies yang menjadi punah dalam dekade berikut bisa berjumlah jutaan.[2]. Sebagian besar orang hanya berpikir hanya spesies mamalia berukuran besar dan burung yang terancam kepunahan, tapi sebenarnya kestabilan seluruh ekosistem menjadi terganggu dengan punahnya spesies kunci pada salah satu rantai makanan.
Daftar isi[tampilkan]
1 Kepunahan
2 Kontroversi
3 Status Konservasi
3.1 IUCN Red List
4 Daftar sebagian kecil spesies terancam
4.1 Mamalia
4.2 Burung
4.3 Reptilia
4.4 Amfibia
4.5 Ikan
4.6 Artropoda
4.7 Moluska
4.8 Tumbuhan
5 Lihat pula
6 Catatan kaki
7 Pranala luar
//

[sunting] Kepunahan
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Kepunahan
Manusia harus peduli terhadap kepunahan karena kepunahan berarti:
kehilangan suatu spesies sebagai entitas biologi
terganggunya kestabilan sebuah ekosistem
terancamnya spesies lain
kehilangan materi genetika dan biokimia yang tidak tergantikan.
Hilangnya satu spesies dari muka bumi berarti berkurangnya kekayaan alam, sekaligus menjadi isu moral bagi pihak yang berpendapat manusia sebagai penanggung jawab kelestarian lingkungan, sekaligus pihak yang mendukung hak hidup untuk semua spesies hewan. Kepunahan suatu spesies yang menjadi mangsa atau pemangsa dalam suatu ekosistem berdampak pada peningkatan atau penurunan jumlah populasi spesies lain. Begitu seterusnya, hingga semua spesies musnah dan ekosistem menjadi rusak dan tidak bisa kembali seperti semula. Selain itu, setiap spesies memiliki materi genetik yang unik yang tersimpan dalam DNA, dan menghasilkan bahan kimia yang unik sesuai instruksi genetik yang dimiliki. Bahan kimia dari tumbuhan, misalnya sangat berpotensi untuk digunakan sebagai senyawa obat-obatan dalam industri farmasi.

[sunting] Kontroversi
Undang-undang spesies terancam sering mengundang kontroversi. Pihak-pihak tertentu sering mempertanyakan kriteria memasukkan suatu spesies ke dalam daftar spesies terancam, dan kriteria mencoret suatu spesies dari daftar spesies terancam setelah populasi spesies tersebut telah pulih. Selain itu, pemilik tanah sering mempertanyakan nasib tanah mereka setelah ditemukan spesies terancam yang dilindungi undang-undang.
Spesies yang dimasukkan ke dalam daftar spesies terancam justru sering makin dicari kolektor dan pemburu gelap. [3] Dampak seperti ini bisa dikurangi dengan melakukan penangkaran spesies terancam. Seperti di Republik Rakyat Cina, penangkaran penyu berhasil mengurangi perburuan gelap terhadap spesies terancam. [4]

[sunting] Status Konservasi
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Status Konservasi
Status konservasi dari suatu spesies terancam adalah indikator kemungkinan spesies ini bisa terus bertahan hidup. Penetapan status konservasi bukan hanya berdasar jumlah populasi yang tersisa, melainkan juga peningkatan atau penurunan jumlah populasi dalam periode tertentu, laju sukses penangkaran, ancaman yang diketahui, dan sebagainya. Status konservasi yang paling dikenal di seluruh dunia adalah IUCN Red List.
Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati merupakan program internasional untuk melindungi spesies dan habitat teracam yang diratifikasi 188 negara. Di Indonesia, program ini disebut Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP) yang pertama kali dibuat tahun 1993 dengan nama rencana Aksi Keanekaragaman hayati untuk Indonesia atau Biodiversity Action Plan Indonesia (BAPI).[5]

[sunting] IUCN Red List

Harimau Siberia, status konservasi: kritis
Artikel utama untuk bagian ini adalah: IUCN Red List
Kategori Terancam akan Kepunahan dalam IUCN Red List berada di antara kategori Sangat Terancam akan Kepunahan dan Rentan. Beberapa kategori IUCN:
Punah (EX): individu terakhir dari sebuah spesies sudah mati, atau sudah mati berdasarkan asumsi yang tidak bisa diragukan lagi, misalnya: Harimau Tasmania, Dodo, dan Merpati penumpang.
Punah di alam liar (EW): populasi di alam bebas tidak ada lagi, dan hanya bisa ditemui di penangkaran, misalnya: burung Alagoas Curassow.
Sangat terancam kepunahan atau Kritis (CR): spesies menghadapi risiko tinggi kepunahan di waktu dekat, misalnya: Harimau Sumatra, Badak Jawa, Jalak Bali, Arwana Asia.
Terancam atau Endangered (EN): spesies yang menghadapi risiko kepunahan sangat tinggi di waktu mendatang, misalnya: Orang utan, Banteng, Anoa, Macan Tutul Salju.
Rentan (VU): spesies menghadapi risiko tinggi kepunahan di masa depan, misalnya: Cheetah, Seladang, Babirusa.
Risiko Rendah (LC): ancaman langsung bagi kelangsungan hidup spesies tidak ada, misalnya: Ayam hutan, Macan Tutul.

[sunting] Daftar sebagian kecil spesies terancam
Daftar berikut ini memuat sebagian kecil saja spesies-spesies terancam dari keseluruhan spesies terancam yang diketahui dan tidak diketahui. Jumlah spesies yang punah setiap tahun justru beberapa kali lipat lebih besar dari jumlah spesies yang bisa dimasukkan ke dalam daftar spesies terancam.
Daftar berikut ini tidak lengkap, bantulah kami melengkapinya.

[sunting] Mamalia

Orang utan Kalimantan, status konservasi: terancam
Acerodon jubatus
Anjing laut Hawaii (Monachus schauinslandi)
Anjing liar Afrika (Lycaon pictus)
Antelop Tibet (Pantholops hodgsonii)
Aye-aye (Daubentonia madagascariensis)
Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus)
Badak Sumatra (Dicerorhinus sumatrensis)
Bajing Merah (Sciurus vulgaris)
Banteng (Bos javanicus)
Bekantan (Nasalis larvatus)
Berang-berang laut (Enhydra lutris)
Bonobo (Pan paniscus)
Bradypus torquatus
Burramys parvus
Cervus albirostris
Cheetah Asia (Acinonyx jubatus venaticus)
Elaphurus davidianus
Equus hemionus
Fossa (Cryptoprocta ferox)
Gajah Afrika (Loxodonta africana)
Gajah Asia (Elephas maximus)
Gajah hutan Afrika (Loxodonta cyclotis)
Gorila gunung (Gorilla beringei)
Gorila (Gorilla gorilla)
Harimau (Panthera tigris)

Tumpukan tengkorak Bison Amerika. Di tahun 1890 hanya tersisa 750 ekor bison
Indri (Indri indri)
Kelelawar abu-abu (Myotis grisescens)
Kouprey (Bos sauveli)
Lasiorhinus krefftii
Leontopithecus rosalia
Lumba-lumba Teluk California (Phocoena sinus)
Lynx Iberia (Lynx pardinus)
Macan Tutul Salju (Uncia uncia)
Manatee Hindia Barat (Trichechus manatus)
Mustela nigripes
Myrmecobius fasciatus
Orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus)
Orang utan Sumatra (Pongo abelii)
Panda Merah (Ailurus fulgens)
Panda (Ailuropoda melanoleuca)
Paus bersirip (Balaenoptera physalus)
Paus biru (Balaenoptera musculus)
Paus bongkok (Megaptera novaeangliae)
Paus Sei (Balaenoptera borealis)
Petaurus gracilis)
Pteronura brasiliensis
Serigala Merah (Canis rufus)
Sifaka diadema (Propithecus diadema)
Simpanse (Pan troglodytes)
Singa Asia (Panthera Leo Persica)
Singa laut Steller (Eumetopias jubatus)
Urocyon littoralis

[sunting] Burung

Jalak Bali, status konservasi: kritis
Aceros waldeni
Alauda razae
Anas laysanensis
Angsa Hawaiian (Branta sandvicensis)
Anodorhynchus glaucus
Anodorhynchus leari
Bintayung Christmas (Fregata andrewsi)
Brachyramphus brevirostris
Buteo ridgwayi
Corvus hawaiiensis
Cozumel Thrasher (Toxostoma guttatum)
Crypturellus saltuarius
Cyanopsitta spixii
Dara Laut Berjambul (Sterna bernsteini)
Dendrocygna arborea
Diomedea amsterdamensis
Foudia rubra
Gallicolumba platenae
Gallirallus owstoni
Geopsittacus occidentalis
Geronticus eremita
Grus americana
Grus leucogeranus
Gyps bengalensis
Gyps indicus
Ibis Karau (Pseudibis davisoni)
Jalak Bali (Leucopsar rothschildi)
Kakapo (Strigops habroptila)
Kakatua Filipina (Cacatua haematuropygia)
Kakatua Puerto Rico (Amazona vittata)
Kakatua-kecil Jambul-kuning (Cacatua sulphurea)
Kiwi (Apteryx australis, A. hastii, A. owenii)
Kondor California (Gymnogyps californianus)
Kuau-kerdil Kalimantan (Polyplectron schleiermacheri)
Maleo Senkawor (Macrocephalon maleo)
Mergus octosetaceus
Mimodes graysoni
Neophema chrysogaster
Neospiza concolor
Nipponia nippon
Numenius borealis
Numenius tenuirostris
Oceanites maorianus
Oxyura leucocephala
Pelatuk Maharaja (Campephilus imperialis)
Pelatuk paruh gading (Campephilus principalis)
Picoides borealis
Pithecophaga jefferyi
Pitta gurneyi
Podiceps taczanowskii
Po'o-uli (Melamprosops phaeosoma)
Psittacula eques
Pterodroma hasitata
Pterodroma madeira
Pterodroma magentae
Rhinoptilus bitorquatus
Rhynochetos jubatus
Sapheopipo noguchii
Tachybaptus rufolavatus
Takahē (Porphyrio hochstetteri)
Thalassarche eremita
Thaumatibis gigantea
Tokhtor Sumatera (Carpococcyx viridis)
Tympanuchus cupido attwateri
Vanellus gregarius

[sunting] Reptilia

Komodo, status konservasi: rentan
Alligator China (Alligator sinensis)
Alsophis antiguae
Ameiva polops
Bradypodion taeniabronchum
Buaya Kuba (Crocodylus rhombifer)
Gambelia silus
Komodo (Varanus komodoensis)
Kura-kura darat bintang Burma (Geochelone platynota)
Kura-kura sungai Amerika Tengah (Dermatemys mawii)
Lepidochelys kempii
Oligosoma grande
Oligosoma otagense
Penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea)
Penyu belimbing (Dermochelys coriacea)
Penyu hijau (Chelonia mydas)
Penyu sisik (Eretmochelys imbricata)
Penyu tempayan (Caretta caretta)
Sphaerodactylus micropithecus
Uma inornata
Xantusia riversiana

[sunting] Amfibia
Ambystoma californiense
Ambystoma tigrinum stebbinsi
Bufo baxteri
Bufo californicus
Bufo houstonensis
Eurycea rathbuni
Eurycea sosorum
Hyalinobatrachium fleischmanni
Litoria olongburensis
Litoria Spenceri
Nyctimystes dayi
Philoria frosti
Plethodon shenandoah
Rana muscosa

[sunting] Ikan

Arwana Asia, status konservasi: kritis
Arwana Asia (Scleropages formosus)
Bonytail (Gila elegans)
Coelacanth (Coelacanthiformes)
Cui-ui (Chasmistes cujus)
Gambusia eurystoma
Gila cypha
Hiu paus (Rhincodontidae Rhincodon typus)
Kerapu Nassau (Epinephelus striatus)
Moapa coriacea
Psephurus gladius
Ptychocheilus lucius

[sunting] Artropoda
Astacopsis gouldi
Austropotamobius pallipes
Palaemonias alabamae
Palaemonias ganteri

[sunting] Moluska
Kanab Ambersnail (Oxyloma haydeni kanabensis)

[sunting] Tumbuhan
Abies beshanzuensis
Ceroxylon quindiuense
Clianthus puniceus
Cupressus dupreziana
Metasequoia glyptostroboides
Palem anggur Chili (Jubaea chilensis)
Perangkap lalat Venus (Dionaea muscipula)
Pinus Wollemi (Wollemia nobilis)

Minggu, 17 Mei 2009

Pengelolaan Kawasan Konservasi Indonesia : Konflik Kepentingan Konservasi Lingkungan Hidup dengan Kepentingan Rakyat - Hari Bumi 2009

Pengelolaan Kawasan Konservasi Indonesia : Konflik Kepentingan Konservasi Lingkungan Hidup dengan Kepentingan Rakyat - Hari Bumi 2009



Kekerasan di Hutan : Pengelolaan Kawasan Konservasi Indonesia

Indonesia yang memiliki Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Perlindungan Alam seluas 23.214.626,57 hektar, dimana sebagian besarnya merupakan Taman Nasional. Konsep pengelolaan Taman Nasional sangat sentralistik dan kerap mengabaikan keberadaan masyarakat adat/lokal yang justru telah hidup di kawasan-kawasan tersebut secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Hal inilah yang menjadi titik terjadinya konflik kepentingan antara kepentingan konservasi dan kepentingan rakyat.

Untuk pengelolaan hutan konservasi, seperti taman nasional, cagar alam, taman buru, hutan wisata dan hutan lindung, dilakukan pengelolaan oleh pemerintah melalui unit pelaksana teknis sebagai perwakilan pemerintah di lapangan. Sebagian lokasi kawasan konservasi juga dikelola bersama dengan lembaga konservasi internasional. Hingga saat ini pengelolaan hutan konservasi masih sangat jauh dari sisi pengelolaan hutan oleh rakyat, karena pengertian konservasi sebagai kawasan yang "steril" dari masyarakat masih menjadi pegangan pemerintah dalam pengelolaan hutan. Hal tersebut mengakibatkan seringnya terjadi konflik antara rakyat dengan pengelola kawasan, misalnya di Taman Nasional Komodo, Taman Nasional Meru Betiri, Taman Nasional Kutai, Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional Rawa Aopa Watumoai, Taman Nasional Gunung Halimun, dan beberapa kawasan konservasi lainnya di Indonesia.

Sementara di tingkat daerah, pengelolaan kawasan konservasi menjadi bagian yang dianggap tidak penting dan tidak diperhatikan, karena saat ini dipandang bahwa kawasan konservasi merupakan wewenang pemerintah pusat. Namun untuk kawasan hutan lindung dan hutan wisata, yang merupakan wewenang pemerintah daerah, mulai terlihat adanya perhatian pemerintah daerah dalam melakukan pengelolaan. Pola pengelolaan yang digunakan juga tidak berbeda dengan pola pengelolaan kawasan konservasi, dimana di dalam kawasan hutan, tidak dibenarkan rakyat berada di dalam kawasan.

Sebagian besar kawasan konservasi di Indonesia saat ini tengah mengalami desakan kuat ke arah kerusakan yang menjadikan kawasan konservasi sebagai jarahan dari penebangan hutan tak terkendali, terutama ketika otonomi daerah dimulai. Hal ini diakibatkan oleh tidak terlibatnya masyarakat sekitar hutan dalam mengelola hutan dan di masa lalu sebagian rakyat yang tinggal di kawasan konservasi justru dikeluarkan dari kawasan kelola mereka.

WALHI mencatat bahwa hingga tahun 2003 telah terjadi beberapa pengusiran rakyat dari kawasan konservasi di Indonesia, diantaranya di TN Lore Lindu, TN Kutai, TN Meru Betiri, TN Komodo, TN Rawa Aopa Watumoi, TN Taka Bonerate, TN Kerinci Seblat dan beberapa kawasan lainnya. Bahkan di TN Komodo, masyarakat nelayan hingga saat ini dilarang melakukan aktivitas penangkapan ikan di kawasan tangkap tradisional mereka yang diklaim sepihak sebagai zona inti taman nasional.

Beberapa kasus yang terjadi di kawasan konservasi antara lain adalah pembangunan jalan di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser, pengusiran dan penembakan nelayan di Taman Nasional Komodo, Operasi Napoleon di Taman Nasional Wakatobi, pengusiran masyarakat Dongi-dongi di Taman Nasional Lore Lindu dan pengusiran rakyat Moronene di Taman Nasional Rawa Aopa Watomohai.


Kasus-kasus Taman Nasional di Indonesia


Pembangunan Jalan Ladia-Galaska: Kepentingan Rakyat atau Penguasa?

Pemerintah Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) bersama dengan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah sangat antusias membangun jalan Ladia-Galaska (Lautan Hindia-Gayo-Alas-Selat Malaka), dimana sebagian ruas jalannya melintasi kawasan taman buru dan hutan lindung. Pada ruas-ruas tertentu, jalan Ladia-Galaska akan melakukan pembukaan hutan untuk pembangunan ruas jalan baru. Bahkan ternyata Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang harusnya dibuat sebelum pelaksanaan proyek dilakukan, baru disetujui pada pertengahan tahun 2003 dimana sebagian besar ruas jalan telah dikerjakan.

WALHI menilai bahwa dalam Pembangunan Jalan Ladia-Galaska hanyalah untuk kepentingan sesaat pemerintah Propinsi NAD dan Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Walaupun dalam beberapa kesempatan Gubernur NAD selalu mengatakan bahwa pembangunan jalan adalah untuk kepentingan rakyat, namun secara nyata tidak banyak masyarakat yang akan menikmati jalan tersebut untuk mereka.

WALHI menggugat Pemerintah untuk menghentikan pembangunan jalan Ladia-Galaska dan mendorong pemanfaatan ruas jalan yang telah ada guna memenuhi keinginan adanya akses jalan di Propinsi NAD.

Taman Nasional Komodo: Saat Nelayan Tak Boleh Lagi Mencari Ikan

Taman Nasional Komodo terletak di Propinsi Nusa Tenggara Timur, ditetapkan berdasarkan SK Menhutbun No 172/Kpts-II/2000 dengan luas wilayah 132.572 hektar (wilayah daratan seluas 40.728 hektar), keputusan ini merupakan penetapan yang ketiga sejak penetapan pertamanya tahun 1980. sebelum ditetapkan sebagai taman nasional kawasan ini telah ditetapkan sebagai cagar alam sejak zaman Belanda.

Taman Nasional Komodo (TNK) merupakan salah satu TN yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi sejak tahun 1980, tahun 1986 UNESCO menetapkannya sebagai warisan alam dunia (world heritage) dan sebagai wilayah cagar biosfer. Berada di ketinggian 500–600 dpl dan terletak diantara pulau Sumbawa (NTB) dan pulau Flores (NTT), meliputi pulau Rinca, Komodo, Papagaran, Kukusan (yang ada di dalam kawasan dan pulau Messa, Seraya Besar, Seraya Kecil (di luar kawasan).

Kawasan TNK merupakan wilayah tangkapan ikan "favorit" bagi nelayan Sape, pulau maupun daratan (Labuan bajo). Sejak ditetapkannya kawasan ini sebagai wilayah Taman Nasional Komodo, mulai banyak terjadi tindak kekerasan yang dialami masyarakat, tidak kurang dari 10 nyawa melayang, 3 orang hilang dan puluhan bahkan ratusan nelayan yang mendapatkan tindak kekerasan dari aparat dan data terakhir 9 nelayan ditangkap pada tanggal 25 April 2003. Semua tuduhannya sama yakni memasuki wilayah "terlarang" di TNK.

Penderitaan masyarakat kian menjadi ketika pemerintah (Dirjen PHKA) melakukan kesepakatan kerja (MOU) dengan The Nature Conservancy (TNC) pada tahun 1995, penderitaan tersebut tidak terlepas dari pola dan faham pengelolaan TNK yang dibawa TNC, walaupun pada awalnya TNC hanya merupakan bagian dari supporting system dalam pengelolaan TNK namun karena dukungan dana serta fasilitas yang cukup besar ia telah menghegemoni Balai Taman Nasional Komodo (BTNK). TNC telah membuat BTNK berada dalam gepitan ketiaknya.

Adanya larangan melakukan aktivitas nelayan di wilayah TNK telah menjadikan masyarakat semakin sengsara dan termarginalkan, alasan pelarangan yang selalu didengungkan oleh BTNK/TNC adalah karena penggunaan destructive fishing oleh nelayan, hal yang sangat miris jika solusinya kemudian adalah penutupan akses rakyat atas sumber kehidupannya, lalu TNC pun merekomendasikan untuk dilakukan perubahan pola kerja masyarakat seperti menjadi pengrajin, melakukan penangkaran ikan dan lain-lain. Namun yang harus diperhatikan adalah bahwa masyarakat di wilayah TNK kulturnya merupakan nelayan, tidaklah mudah untuk melakukan perubahan yang sifatnya kultural, apalagi dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 11.000 jiwa ditambah banyaknya larangan bagi penduduk, seperti memanfaatkan hasil hutan, batasan alat penangkap ikan (sesuai Perda No. 11/2001) dan lain-lain. Semua itu hanyalah akal-akalan TNC untuk melakukan pengusiran secara perlahan dan sistematis.

Dari aspek sosial pun kini telah terjadi banyak benturan sosial baik antar masyarakat didalam kawasan maupun dengan masyarakat luar kawasan, hal ini tidak terlepas dari strategi yang dimainkan TNC yakni dengan melakukan pendekatan dengan kelompok-kelompok kecil binaannya, bibit konflik sosial pun telah disebarkan. Dari aspek budaya juga telah terjadi intervensi, seperti pemisahan Komodo dengan masyarakat di TNK, perlu diketahui bahwa antara masyarakat Komodo dengan binatang komodo mempunyai keterkaitan sejarah yang sangat erat, bentuk intervensi yang dilakukan bahkan hingga ke pelarangan bermukim di wilayah TNK bagi masyarakat di TNK yang menikahi "orang luar" TNK.

Hal yang patut pula "ditentang" dari misi TNC adalah rencana collaborative management. Idealnya collaborative management dilakukan dalam koridor partisipatif, berkelanjutan, transparan dan yang terpenting lagi adalah menjadikan masyarakat sebagai subyek. Namun yang terjadi adalah kebalikannya, indikasi ini dapat jelas terlihat dari proposal TNC yang akan menjadikan TNK sebagai "lahan konsesi" yang dikelola secara eksklusif. Format kolaborasi yang diusungnya pun tidak lebih dari model privatisasi kawasan konservasi, apalagi secara terang-terangan TNC juga telah menggandeng pengusaha yang akan berkolaborasi dalam usaha ekowisata.


Taman Nasional Wakatobi : Surga Dunia, Bukan Surga Rakyat

Sejak tahun 1995 Pemerintah pusat melalui LIPI dan Kementerian Lingkungan Hidup RI menyetujui Kontrak Kerjasama pengelolaan kawasan perairan Kepulauan WAKATOBI (Kepulauan Tukang Besi) hingga tahun 2020 (25 tahun) pada sebuah perusahaan dengan nama Badan Pelaksana (BP) Wallacea yang berkedudukan di Jakarta dan berpusat di UK–Inggris, yang selanjutnya beroperasi dengan nama Yayasan Wallacea. Kemudian disebutkan bahwa BP Walacea akan melaksanakan serangkaian kegiatan riset di kawasan tersebut dengan nama "Operation Wallacea" dengan fokus pada riset jenis spesies flora dan fauna di dalam areal perairan dengan luas total 1.390.000 hektar. Untuk mendukung upaya tersebut maka pemerintah pusat menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan Taman Nasional Laut dengan nama Taman Nasional Kepulauan WAKATOBI melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 393/Kpts-VI/1996 tanggal 31 Juli 1996. Kawasan tersebut dibagi menjadi lima zona.

Nama WAKATOBI diambil dari nama awal empat pulau utama di kawasan tersebut yaitu (Wanci, Kaledupa, Tomia & Binongko). Dengan pengawasan sebuah kantor perwakilan Taman Nasional di kota Baubau. Praktis kawasan yang telah dibagi dalam beberapa zonasi tersebut (tanpa musyawarah mufakat dengan masyarakat lokal) membawa segudang masalah dengan masyarakat nelayan yang turun temurun mengelola secara adat seluruh kawasan perairan tersebut. Mulai dari larangan memasuki zona terlarang, zona riset, zona pemanfaatan hingga tidak adanya akses masyarakat lokal untuk menentukan pola pengelolaan kawasan TN tersebut. Belum lagi adanya upaya melaksanakan kegiatan Illegal Ecotourism berkedok riset di kawasan ini oleh pengelola BP Wallacea. Tak kurang dari 100 orang peneliti dari berbagai negara Eropa datang di pulau ini dan secara bergantian melakukan kegiatan "riset" di kawasan TN Kepulauan Wakatobi.

Masuknya LSM internasional TNC (The Nature Concervacy) dengan menggandeng WWF Indonesia sejak permulaan tahun 2002 di kawasan ini melalui serangkaian program konservasi kawasan Taman Nasional berdampak luas pada perubahan kultur masyarakat Wakatobi.
Sebuah gelar operasi dengan sandi "Operasi Napoleon" oleh Tim gabungan keamanan laut TNKW rencananya efektif dilakukan pada tahun 2004. Walaupun mendapat sorotan dari banyak kalangan Ornop dan gerakan mahasiswa di Sultra dan nasional, rencana pengelolaan kawasan TNKW dengan pola Collaborative Management (Co-Management) tetap dilakukan. Operasi sejenis dapat dilihat juga pada pola pengamanan kawasan Taman Nasional Komodo (TNK) di kawasan Nusa Tenggara Timur (NTT). Umumnya beranggotakan satuan Polisi (Polairud/Shabara Perintis/Brimob), Polisi Khusus Kehutanan (Polhut), satuan tentara dari Angkatan Laut (TNI AL) serta pihak birokrasi kecamatan/kabupaten (Staf Pemerintah Kabupaten atau kecamatan setempat).

Empat kecamatan/pulau di wilayah ini -Wanci, Kaledupa, Tomia, dan Binongko- telah disepakati oleh DPR RI untuk ditingkatkan statusnya menjadi wilayah Kabupaten, terpisah dari kabupaten induk, Buton. Pro kontra perebutan pengelolaan kawasan TNKW makin meluas, setelah kelompok-kelompok Ornop dan Gerakan Rakyat dan Mahasiswa lokal di Buton dan Kendari gencar menggalang dukungan penolakan kehadiran berbagai NGO konservasi internasional di kawasan ini. Saat ini operasi Opwal berada di P. Hoga Kecamatan Kaledupa, sementara kantor operasi TNC berada di kota Baubau. WWF Indonesia sendiri belum dapat terdeteksi kantor operasinya, sebab senantiasa bersamaan aktivitasnya dengan staff/volunteer TNC.


Taman Nasional Lore Lindu : Ketika Rakyat Dongi-Dongi Menuntut Hak

Pendudukan lahan Dongi-dongi yang terletak di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL) yang dilakukan oleh masyarakat yang berasal dari empat (4) kampung; Kamarora A; Kamarora B; Kadidia; Rahmat, Kecamatan Palolo, Kabupaten Donggala. Sebenarnya bukan baru kali ini, namun peristiwa serupa pernah juga terjadi pada tahun 1998 dan 1999. Namun pada saat itu, pendudukan yang dilakukan masyarakat dari keempat (4) desa ini, masih dengan mudah dipatahkan oleh kekuatan represif (militer) dan Pemerintah Daerah (Pemda) kala itu.

Masyarakat di empat (4) desa ini, merupakan komunitas masyarakat yang dipindahkan dari tiga (3) kecamatan, seperti: Kecamatan Dolo; Kecamatan Marawola; Kecamatan Kulawi, dengan program pemerintah; Project Resettlement dan Trans Local sekitar tahun 1979 dan 1983.

Sebelumnya, komunitas yang dipindahkan ini merupakan suku bangsa yang memiliki kebiasaan bercocok tanam pada lahan kering, mencari hasil hutan (memiliki ketergantungan pada hasil hutan-red), seperti suku Da"a, dan Kulawi. Kedua komunitas suku yang dominan pada keempat (4) desa ini. Namun, melalui kedua project pemindahpaksaan (involuntary resettlement) ini, komunitas-komunitas masyarakat ini mengalami pergeseran tata cara bercocok tanam. Sejak dipindahkan mereka menjadi petani lahan basah, tanpa ada bimbingan yang intensif, dari instansi yang berwenang.

Melalui pemindahpaksaan ini pula. Mereka telah merasakan bencana yang kini mencuat, kekurangan lahan. Sebab sejak awal Pemda waktu itu menjanjikan lahan seluas 2 Ha untuk setiap Kepala Keluarga (KK). Namun, sejak dipindahkan tahun 1979 hingga saat ini, janji itu tidak pernah ditepati, karena lahan yang diberikan hanya berkisar 0,8-1 Ha untuk setiap KK. Sementara jumlah KK terus bertambah menjadi pecahan KK, kini pecahan KK yang ada telah mencapai tiga (3) generasi. Seperti yang terjadi di Desa Kamarora A yang bertambah menjadi Kamarora B.

Wilayah Dongi-dongi sendiri merupakan lahan bekas areal konsesi PT Kebun Sari sejak tahun 70-an, sebagai pemegang ijin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Sementara, masyarakat dari empat (4) desa ini, kala itu banyak yang menjadi buruh pada PT Kebun Sari. Diwaktu senggang, mereka menanam kopi, coklat, pada areal ini. Dan tanaman-tanaman tersebut, seperti Kopi, hingga saat masih terawat dengan baik. Bahkan, ada yang jauh sebelum ada PT Kebun Sari, TNLL, dan jalan Poros Napu-Palolo, mereka telah menanami areal itu dengan tanaman Kopi. Tanaman-tanaman inipun masih ada sampai sekarang. Inilah salah satu alasan, kenapa mereka berulang kali melakukan pendudukan dan mempertahankan lahan tersebut.

Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Tengah (Sulteng), pernah menawarkan lahan alternatif ketika terjadi pendudukan lahan untuk kedua (2) kalinya pada tahun 1999. Lahan alternatif yang ditawarkan kala itu Manggalapi. Ada juga sebagian kecil masyarakat yang pindah ke Manggalapi, namun tidak lama kemudian, mereka kembali lagi ke kampungnya. Mereka menyatakan sikap untuk kembali kampung semula, karena pada lokasi ini (Manggalapi), tidak terdapat sarana yang dibutuhkan, seperti jalan menuju lokasi ini. Untuk menuju Manggalapi yang berbatasan dengan Desa Sausu, Kecamatan Parigi, membutuhkan waktu satu hari, dengan medan yang cukup sulit, sebab belum adanya sarana jalan.

Sejak tuntutan masyarakat akan permintaan lahan kembali mencuat pada 18 Juni 2001. Pemprov Sulteng kembali menawarkan lahan alternatif, seperti lahan Areal Penggunaan Lahan (APL) di Lembangtongoa, dan lahan lain di Uenuni. Namun, masyarakat kembali menolak mentah-mentah kedua lahan alternatif tersebut. Karena menurut mereka, kedua (2) lahan ini tidak layak untuk dikelola, karena terdapat pada kemiringan yang cukup terjal. Menurut masyarakat, di kedua lahan ini pula telah dimiliki oleh masyarakat dari desa lain.

Tapal batas TNLL di keempat (4) desa ini begitu dekatnya dengan areal perumahan penduduk. Hal ini dapat dilihat dari fakta di lapangan bahwa pintu rumah penduduk yang langsung berhadapan dengan TNLL. Sehingga muncul rumor: "Begitu pintu rumah dibuka, maka langsung berhadapan dengan tapal batas TNLL".

Sempitnya lahan untuk mencari nafkah, juga kebiasaan untuk mencari hasil hutan, mengakibatkan masyarakat masuk pada areal TNLL. Tindakan represif berupa pengusiran, penangkapan bahkan pembakaran sabua (pondok) yang mereka buat dalam areal TNLL. Tidak menyurutkan kebiasaan mereka untuk tetap mencari nafkah didalam TNLL. Seperti yang dialami salah seorang warga Desa Kadidia, Pak Lili, yang pernah mendekam di Rumah Tahanan (Rutan) mesa selama empat (4) bulan tanpa ada proses hukum sebelumnya, hanya karena tertangkap Polisi Hutan (Polhut) ketika berada dalam areal TNLL. Setelah Peristiwa pengusiran mereka terdahulu (tahun 1998, 1999-red), kini, Juli 2001 mereka kembali melakukan pendudukan lahan di Dongi-dongi.

Berbagai macam project pun digulirkan di desa-desa sekitar TNLL, dengan harapan, akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Seperti salah satu project Asian Development Bank (ADB) melalui Central Sulawesi Integrated Area Development and Conservancy Project. Namun, target project yang sejak awalnya memang tidak melibatkan masyarakat yang terkena dampak, melahirkan masalah dikemudian harinya. Dapat dikatakan bahwa project Loan ini gagal total. Project yang lebih menekankan implementasi project dari pada memperhitungkan dampak, melahirkan berbagai masalah baru baik bagi masyarakat maupun TNLL sendiri. Karena implementasi project di keempat (4) desa ini, bukan berdasarkan kebutuhan masyarakat, misalnya pembuatan jalan, sarana air bersih, pengadaan bibit. Seperti pengadaan bibit, masyarakat mempertanyakan untuk apa memberikan bibit, sementara mereka tidak memiliki lahan.


Taman Nasional Rawa Aopa Watomohai : Meniadakan Hak-hak Rakyat Moronene

Taman Nasional RAW ditetapkan pada tanggal 17 Desember 1999 lewat keputusan Menteri Kehutanan RI no 756/kpts/II/1990, dengan luas 105.194 Ha TN RAW membentang dari mulai kabupaten Kendari – Kolaka hingga ke kabupaten Buton. Proses penetapannya sendiri sudah dimulai sejak dikeluarkannya rekomendasi Gubernur Sulawesi tenggara pada tanggal 5 Mei 1983 no 522.51 kepada menteri kehutanan c.q Dirjen PHKA. TN RAW memiliki empat tipe ekosistem yakni: savana, rawa laut (bakau), rawa darat dan ekosistem dataran rendah.

Orang Moronene diyakini merupakan suku tertua dan pertama yang mendiami dataran Sulawesi tenggara, saat ini mereka umumnya bermukim dan menyebar di sebelah selatan Sulawesi tenggara dan salah satu kampung (tobu) tertuanya adalah tobu HukaEa LaEa. Menurut sebagian antropolog asal usul nenek moyang mereka berasal dari daratan Filipina yang diperkirakan mulai bermukim sejak tahun 1720. secara administratif perkampungan Orang Moronene meliputi 7 wilayah kecamatan yang tersebar di kecamatan Kabaena, Kabaena Timur, Rumbia, Poleang Barat, Poleang Timur, Rarowatu, Watubangga (di wilayah Buton) serta 1 (satu) kecamatan di wilayah Donggala. Ketujuh kecamatan tersebut dulunya merupakan wilayah kerajaan Moronene yang luasnya mencapai 3.393,67 Km2.

Setelah tahun 1920 orang Moronene mulai banyak yang pindah dan atau dipindahkan dengan berbagai alasan di antaranya akibat bencana yang datang diantaranya. Pada tahun 1953 kampung merka diserbu dan dikuasai gerombolan badik, pada tahun 1957 terjadi penyerangan oleh pasukan DI/TII yang mengharuskan mereka meninggalkan kampungnya. Sejak peristiwa inilah Orang Moronene mulai dipindah-pindahkan oleh pemerintah ke lokasi-lokasi pemukiman baru. Namun demikian ikatan orang Moronene dengan tanah leluhurnya tidaklah hilang, secara teratur mereka masih masuk tobu HukaEa LaEa untuk berkebun dan juga membersihkan kuburan leluhurnya.

Dalam masa pengungsian inilah pemerintah mulai menunjukan sikap represif dan otoriternya dengan melakukan pembatasan-pembatasan akses Orang Moronene di tanah leluhurnya serta tindakan intimidasi di antaranya:

  • Pengambilalihan wilayah adat Orang Moronene secara paksa
  • Pembakaran dan pengrusakan rumah-rumah penduduk
  • Pembabatan tanaman masyarakat yang siap panen
  • Penangkapan hingga ke penahanan Orang Moronene
  • Penghilangan mata pencaharian masyarakat


Sebelum kejadian itu semua Orang Moronene (tobu HukaEa LaEa) telah melakukan upaya yang simpatik dalam usahanya kembali ke tanah leluhur, diantaranya dengan mengirim surat ke pemerintahan termasuk kepada balai taman nasional RAW, namun tidak ada tanggapan dari semua instansi yang dikirimi surat tersebut. Karena tidak adanya respon serta berlarut-larutnya maslaah tersebut maka pada tanggal 15 – 18 Februari 1996 sebagian warga Hukaea Laea dan Lampola memasuki tobu mereka

Semua tindakan pemerintah tersebut berlindung dibalik "perlindungan kawasan konservasi". Untuk melegitimasi tindakannya pemerintah pun menuduh Masyarakat sebagai perusak hutan, penyerobot wilayah Taman Nasional dan juga perusak kekayaan sumber daya alam. Walaupun fakta berbicara bahwa; bukti sejarah, peninggalan bekas perkampungan, pekuburan masyarakat, bukti vegetasi, aturan-aturan adat yang masih terdokumentasikan dan masih dilaksanakan, pengakuan dari orang Moronene yang menyatakan bahwa kampung HukaEa LaEa merupakan wilayah leluhurnya, fakta bahwa hutan yang terjaga justru yang ada di wilayah hukum orang moronene.

Tindakan represif pemerintah tersebut dijabarkan serta diimplementasikan dalam bentuk Operasi Sapu Jagat (OSJ), yang dilaksanakan secara berturut-turut pada tanggal 16 Desember 1997 (OSJ I), tanggal 23 Oktober 1998 (OSJ II), tanggal 23 – 25 November 2000 (OSJ III) dan tanggal 28 April 2002 (OSJ IV). Kerugian yang diderita masyarakat diantaranya: rumah penduduk yang dibakar dan dihancurkan tidak kurang dari 200 rumah, ratusan alat perkebunan disita serta barang-barang berharga masyarakat lainnya.


Diwangkara: Diwangkara Profil

Diwangkara: Diwangkara Profil

Kamis, 27 November 2008

Diwangkara Profil

Mapala Diwangkara adalah sebuah organisasi kepencinta alaman yang bergerak dalam bidang Adventure, Climbing, Caving, Conservation. kami juga menerima Guide Adventure (leader mountain).